Sabtu, 18 Mei 2024

M Nuh Sambut Baik Rencana Pengkajian Ulang Sistem Pemilu

    Sabtu, Mei 18, 2024  


PATIMPUS.COM - Anggota Dewan Perwakilan Daerah  Republik Indonesia (DPD RI) asal Sumatera Utara (Sumut) KH Muhammad Nuh MSP, menyambut baik rencana Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengkaji ulang sistem Pemilihan Umum (Pemilu) melalui revisi Undang-undang (UU) kepemiluan.

M Nuh menjelaskan, Ia menyambut baik terkait wacana pelaksanaan pemilihan legislatif yang akan dilakukan simultan dengan pemilihan eksekutif sesuai level pemerintahan seperti disampaikan Mendagri Tito Karnavian sebelumnya dalam rapat bersama Komisi II DPR, KPU, Bawaslu, dan DKPP pada Rabu lalu 15 Mei 2024 di Gedung DPR, Jakarta.

Ia menjelaskan saat itu, Mendagri Tito Karnavian mengatakan intinya pemerintah sepakat ada desain ulang untuk sistem pemilu, baik untuk level nasional maupun pilkada.

Senator asal Sumut tersebut mengaku rencana perbaikan sistem pemilu yang direncanakan Pemerintah dan DPR terkait wacana pelaksanaan pemilihan legislatif yang akan dilakukan simultan itu sesuai dengan usulannya sebagai evaluasi atas pelaksanaan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) yang digelar secara serentak dalam dua periode belakangan ini, 2019 dan 2024.

“Bagus itu. Kita sambut baik Karena dengan demikian, akan berjenjang,” kata M Nuh saat dihubungi awak media via WhatsApp, Jum'at (17/5/2024).

Menurut M Nuh, sebaiknya pelaksanaan pemilihan untuk institusi pusat atau nasional, seperti Presiden, DPR RI, dan DPD RI, digelar bersamaan pada tahun pertama, kemudian tahun kedua, khusus untuk pemilihan lembaga untuk level provinsi, yaitu Gubernur dan DPRD Provinsi,  seterusnya tahun ketiga, pemilihan untuk level Kabupaten/Kota, yaitu Bupati, Walikota, dan DPRD Kabupaten/Kota.

Jadi, lanjut M. Nuh lagi, pemilu secara simultan sesuai level pemerintahan dan bertahap atau berjenjang ini akan bisa dijalankan secara maksimal. Sehingga diharapkan tidak akan melelahkan apalagi sampai memakan korban seperti sebelumnya.

“Kalau umpamanya berjenjang (dilaksanakan selama) 3 tahun (berturut-turut), berarti 2 tahun bisa untuk evaluasi dan bisa lebih siap. Saya pikir itu pandangannya,” ucapnya.

Selain itu, M Nuh juga menyoroti lembaga negara terkait penyelenggaraan pemilu seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

M.Nuh menambahkan lagi, lembaga-lembaga negara yang terkait dengan pemilu seperti KPU, Bawaslu, dan DKPP juga akan terus berkegiatan selama lima tahun.

 “Kalau seperti sekarang, pemilu (2024) dan pilkada (serentak 2024) dalam satu tahun, setelah itu empat tahun (KPU, Bawaslu, dan DKPP) ngapain?” katanya mempertanyakan.

M Nuh yang juga merupakan Pengasuh Pesantren Al Uswah tidak menampik hal itu tidak akan bisa dilakukan segera. Karena pileg-pilpres baru saja dilaksanakan, dan pilkada serentak sudah di depan mata. 

Ia setidaknya bersyukur, bahwa sudah ada pemikiran untuk melakukan perbaikan pelaksanaan pemilu.

“Ya tentu saja. Karena ini (pemilihan) sudah (dan) akan dilaksanakan di 2024 ini. Jadi tetap pemilu (Februari) dan pilkada serentak (November). Nanti setelah itu bisa disepakati (kapan dimulai pelaksanaannya), tapi prinsipnya, kita dalam demokrasi ini kan terus berproses. Artinya jangan ada yang mengatakan ini (pemilu serentak) permanen. Apalagi kalau kita renungkan, pemilu kemarin itu melelahkan,” ungkapnya.

Selain itu, M Nuh yang juga Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumut juga menyoroti terkait efektivitas pengawasan pelaksanaan pemilu dan sebaiknya memanfaatkan pengawasan dari publik.

Menurut M Nuh, jika penanganan serta pelanggaran pemilu ditangani secara langsung oleh Kepolisian, dengan demikian, Bawaslu tidak diperlukan lagi.

Hal itu dikatakan M Nuh terkait adanya kekhawatiran sejumlah kalangan bahwa kecurangan yang dinilai terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif pada Pemilu 2024 kemarin bisa terulang kembali pada Pilkada 2024 yang akan dilaksanakan secara serentak November 2024 mendatang.

Ia menjelaskan, kecurangan pemilu yang ditengarai akan melibatkan Presiden Joko Widodo pada pilkada serentak ini seperti pemilu lalu terutama di daerah-daerah yang bakal diikuti anggota keluarga dan orang-orang dekatnya dinilai kemungkinan tidak akan terjadi. Sebab, sebulan sebelum pencoblosan, masa jabatan Jokowi sudah berakhir.

“Waktu itu memang ada wacana (dimajukan) September sehingga Pak Jokowi masih sebagai presiden (ketika pelaksanaan pilkada). Tapi akhirnya realistis semua, tetap (dilaksanakan) November,” ungkapnya.

Namun, M Nuh juga mengingatkan, pelaksanaan pemilu di tingkat daerah seperti pemilihan DPRD dan pilkada memang sangat rawan kecurangan, tetapi hal itu sebenarnya tidak terkait dengan pusat.

"Di tingkat daerah terutama Kabupaten/Kota yang jauh dari pusat, itu tingkat permainannya bisa lebih tinggi. Jadi bukan hanya dampak dari penguasa nasional, tapi juga dinamika daerah,” katanya.

Terlebih kata M Nuh lagi, pelaksanaan pilkada serentak 2024 ini diikuti 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Sehingga pengawasan tidak bisa dilakukan secara maksimal. 

“Itu kan tidak sederhana. Konsentrasinya tidak mudah. Kecuali pelaksanannya berjenjang seperti kita wacanakan, itu akan lebih siap,” ungkapnya.

Ke depan, untuk mencegah terjadinya kecurangan, M. Nuh juga mengusulkan, pengawasan sebaiknya dilakukan oleh publik secara langsung, sementara itu yang memproses aduan pelanggaran pemilu, baik yang dilakukan KPU sebagai pelaksana atau peserta pemilu dan yang terkait, ditangani langsung oleh Kepolisian.

Dengan demikian menurutnya, tidak diperlukan lagi Bawaslu yang kini terdapat dari tingkat pusat sampai kabupaten/kota dan Panwaslu yang ada di tingkat Kecamatan dan Kelurahan/Desa.

“Itu kalau kita kembalikan kepada pengawasan publik, kan lebih bagus. Jadi masyarakat bisa melaporkan ke polisi. Polisi ini orang-orang yang sudah ada sejak lama, cuman belakangan terlalu, ya begitu keadaannya. Makanya polisi kita perbaiki. Saya yakin masih banyak (polisi) yang baik-baik, dan pelanggaran hukum itu kan polisi (yang menangani). Kita mengoptimalkan fungsi polisi,” tuturnya lagi.

Untuk efisiensi terkait hal itu, menurut M Nuh. Bawaslu tidak diperlukan lagi, ia juga mempertanyakan efektivitas kinerja dalam melakukan pengawasan, pencegahan, sekaligus penindakan pelanggaran pemilu selama ini.

“Karena walau bagaimana, di samping (keberadaan Bawaslu) menambah biaya, juga biasanya (Bawaslu jadi tempat) penampungan para relawan. Jadi kita buatlah struktur lembaga negara kita itu ramping, tapi kerjanya optimal. Kita optimalkan polisi yang tugasnya memang untuk itu (penanganan pelanggaran hukum),” tutup M Nuh. (Soni)

Previous
Next Post
Tidak ada komentar:
Write Berikan komentar anda
© 2023 patimpus.com.